Tatapan di Meja Mertabak

 Cerpen 

Sore itu hujan baru reda. Udara basah masih menggantung di langit Jambi ketika kami—rombongan kecil dari dua daerah yang berbeda, Kerinci dan Kota Jambi—memutuskan makan malam bersama. Tempatnya tidak istimewa bagi banyak orang, tapi bagi kami, DA Jhon Mertabak Kubang adalah titik temu yang hangat, sederhana, dan penuh cita rasa nostalgia.

 

Di tengah ramainya obrolan dan tawa, diam-diam ada dua mata yang saling bertaut di ujung meja. Dia, si pemuda Kerinci berwajah teduh, duduk bersisian dengan kami, namun pikirannya jelas jauh melayang. Di seberangnya, duduk seorang gadis Jambi yang seolah tak ingin terlalu menampakkan rasa. Tapi siapa yang bisa menyembunyikan degup jantung lewat sorot mata?

 

Mereka tidak saling bicara. Hanya sesekali senyum tipis mengembang, cepat ditarik kembali. Kami, para rakan yang duduk di sekitar mereka, bisa melihat benih perasaan tumbuh tanpa kata. Kami pun sepakat, mereka harus didorong—dengan cara apa pun—untuk saling membuka diri.

 

"Abang, nambah teh ya?" si gadis bersuara, mengulurkan gelas ke arah pemuda itu. Sebuah alasan yang terlalu sederhana, tapi cukup untuk membuat tangan mereka hampir bersentuhan.

 

"Eh, iya...," jawab si pemuda gugup, menuangkan teh sambil menunduk. Matanya tak berani menatap langsung, tapi senyumnya menyimpan makna.

 

Kami berinisiatif menyusun rencana. Ada yang membuat lelucon agar mereka tertawa bersama, ada yang sengaja mengatur tempat duduk lebih dekat, bahkan satu teman nekat bertanya langsung, “Kau berdua ini, nunggu lebaran baru jujur, ya?”

 

Tapi mereka tetap bungkam. Rasa itu seperti kabut di Danau Kerinci—ada, menyelimuti, namun tak bisa digenggam. Waktu terus berjalan, malam makin larut, dan kami pun harus pulang.

 

Di depan meja makan, kami melihat mereka berdiri berdampingan. Tak berkata banyak, hanya saling pandang sekali lagi. Kali ini lebih lama, lebih dalam.

 

“Aku pamit dulu,” kata gadis itu lirih.

 

“Iya… Hati-hati di jalan,” balas si pemuda, masih dengan nada yang sulit dimengerti: antara ingin menahan, dan membiarkan pergi.

 

Malam itu DA Jhon Mertabak Kubang menjadi saksi, bahwa tidak semua perasaan perlu diungkap dalam kata. Ada cinta yang hanya cukup dirasakan, walau tidak pernah dinyatakan.

 

Dan kami, para rakan yang pernah berusaha menyatukan dua hati, hanya bisa mengenang kejadian itu sebagai cerita kecil yang tak selesai—tapi tetap indah dalam ingatan.

 

 

 

Penulis: Daprizal

Editor: Daprizal

Facebook Comments

0 Komentar

TULIS KOMENTAR

Alamat email anda aman dan tidak akan dipublikasikan.